Mengapa Orang Mati di Toraja Tidak Segera Dikubur?

21.41 0 Comments »

                Bagi masyarakat luas yang belum mengenal betul budaya Toraja khususnya dalam rangkaian Aluk Todolo, akan merasa heran jika melihat adanya mayat yang sudah bertahun-tahun masih ditaruh di dalam rumah untuk menunggu dipestakan. Bahkan ada yang merasa takut melihat mayat masih ditaruh di dalam rumah.
Inilah salah satu ciri khas masyarakat Toraja yang mungkin tidak terdapat di daerah lainnya di Indonesia ataupun di belahan dunia ini. “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya”, itulah kata pepatah. Kalau di daerah lain ada kebiasaan dan kepercayaan untuk segera menguburkan orang yang meninggal agar jiwanya segera menghadap Allah dan perasaan keluarga tidak terus menerus merasa susah, maka lain halnya dengan di toraja. Demikian juga dengan adat istiadat dan keyakinan kepercayaan yang membakar tubuh mayat agar jiwanya selamat karena tubuh dan daging inilah yang membuat dosa perlu dibakar agar jiwa selamat. Di Toraja tidak pernah dilakukan hal seperti ini. Kedua falsafah hidup keagamaan di atas satu sama lain berbeda pandangan terhadap mayat seseorang. Tetapi kalau mereka saling mau mengerti dan saling mengetahui latar belakag di balik upacara penguburan masing-masing, maka kesimpulannya hanya satu menuju duia akhir yang selamat.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa orang mati di Toraja tidak cepat-cepat dikubur? Kalau seseorang meninggal dunia, seluruh anggota keluarga terkejut dan merasakan duka cita. Ini adalah sifat hakiki manusia universal, hanya cara dan upacara pemakamannya satu sama lain berbeda. Latar belakang orang Toraja menahan mayat di rumah dan tidak cepat-cepat dikubur karena:
1.       Jika seseorang anggota keluarga meninggal dan segera dikubur, maka kepergiannya akan meninggalkan perasaan yang sangat parah, seolah-olah burung elang menyambar dan membawanya terbang secara tiba-tiba.
2.       Dengan menangguhkan pekuburannya, perasaan keluarga makin lama makin sadar bahwa manusia akan mati dan kalau sampai waktu kita juga akan mengikutinya. Selama menunggu penguburan, mayat dibaringkan di rumah dan dijaga baik-baik oleh keluarga.
3.       Kematian seorang anggota keluarga harus dikabarkan kepada seluruh keluarga, dan seorang anak Toraja mempunyai kewajiban untuk hadir dan memberi penghormatan yang terakhir kepada ibu bapanya. Seorang anak perempuan Toraja harus meneteskan air mata yang terakhir untuk jasad tubuh yang telah memberi dunia ini pada anaknya.
4.       Seluruh keluarga perlu diberi kesempatan untuk bermusyawarah menentukan waktu dan tingkat upacara pemakaman mana yang akan dipilih.
5.       Persiapan mendapatkan uang dan kesempatan membuat pondok tamu.

BAHASA ORANG TORAJA

21.39 0 Comments »

                Orang Toraja mempunyai bahasa sendiri, yakni bahasa Toraja yang dipakai di rumah ataupun dalam pergaulan hidup sehari-hari di samping bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bahasa Toraja ini dapat dibagi dalam bahasa pergaulan dan bahasa Tominaa atau bahasa kesusasteraan yang sulit dipahami oleh masyarakat biasa, misalnya:
Bahasa Toraja Pergaulan
Bahasa Tominaa
Bahasa Indonesia
Baine
Pare
Tedong
Siulu’ku
Simbolong manik
Tallu bulinna
Sanglamba bulunna
Renden loloku
Perempuan
Padi
Kerbau
Saudaraku
                Di samping itu, ada bahasa sopan yang semberono kalau salah dipergunakan. Misalnya, kata “iko” sebagai pengganti kata engkau untuk kawan biasa atau golongan yang lebih rendah atau lebih muda umurnya tapi dalam kekeluargaan termasuk jenjang keluarga “anak atau cucu” dan kata “kamu” adalah bahasa sopan sebagai pengganti kata engkau untuk memanggil seorang yang lebih tinggi atau lebih tua atau dianggap lebih tinggi. Akan tetapi di bagian barat Toraja, kata “iko” dianggap sopan seperti misalnya: “iko ambe!” yang berakti “engkau bapak”, sedangkan bahasa ini kedengaran sangat lucu di daerah Makale dan Rantepao yang seharusnya “kamu ambe!”.
                Bahasa Toraja tidak hanya dipergunakan oleh penduduk Tana Toraja, tetapi juga oleh orang Mamasa, orang Rongkong, orang Patilang dan Ranteballa, orang Duri dan mirip sekali dengan bahasa Mandar. Ciri khas bahasa Toraja ialah banyak memakali koma a’in (‘), seperti ta’de=hilang, ma’rang= haus, mata’ka’=lelah, dan tidak ada akhiran S,R, seperti Lukas=Luka’, Luther=Lute’, dan lain-lain.