TARIAN DAN MUSIK TORAJA

21.42 0 Comments »

Dalam masyarakat Toraja, tarian dan musik termasuk salah satu budaya yang tinggi nilainya. Cukup banyak jumlah tarian yang sering dipagelarkan bila diadakan upacara Rambu Tuka dan Rambu Solo.

Tarian Toraja
1.       Tarian Ma’gellu
Tarian ini paling populer, ditarikan oleh para remaja putri pada upacara kegembiraan seperti pada pesta panen, pesta perkawinan, dan untuk menyambut tamu. Penarinya tiga orang, lima orang atau lebih. Pakaian penari ialah pakaian khusus penari dan benda-benda perhiasan emas yang antik.
2.       Tarian Pa’Bonebala’
Tarian ini hampir sama dengan tarian Pa’gellu, hanya rytme gendangnya berlainan dan lagu khusus yang dinyanyikan sementara menari.
3.       Tarian Dao Bulan
Tarian ini juga ditarikan oleh para remaja putri dan dimainkan secara massal pada upacara-upacara, pesta panen, menyambut tamu, dan sebagainya.
4.       Tarian Ma’dandan
Tarian ini ditarikan oleh wanita-wanita yang berpakaian putih-putih memakai sa’pi’ (hiasan kepala) yang menyerupai atap depan rumah. Mereka bergerak lemah lunglai menggoyangkan tongkat mengikuti irama tari dan nyanyian. Maka'’dandan ini ditarikan pada upacara rambu tuka’ untuk pesta panen dan pesta syukuran lainnya.
5.       Tarian Manimbong
Tarian ini ditarikan oleh beberapa orang pria yang memakai kain adat maa’ dan mempergunakan parang-parang antik dan ikat kepala yang tebuat dari bulu-bulu ayam atau bulu burung lainnya. Biasanya ditarikan pada pesta yang menghormati dewata misalnya pesta panen atau pesta rumah.
6.       Tarian manganda
Tarian ini dibawakan oleh satu kelompok laki-laki yang mempergunakan tanduk kerbau di kepala yang dihiasi uang logam. Penari-penari mempergunakan bel kecil yang selalu berdering-dering diselingi teriakan yang mengagetkan penonton. Tarian ini hanya ditarikan pada pesta adat yang besar.
7.       Tarian pa’bondesan
Penari-penari laki-laki tidak memakai baju kecuali selama adat khusus. Penari memakai kuku tiruan yang disebut kuku setan. Tarian ini diiringi dengan suling.
8.       Tarian Memanna
Tarian ini khusus ditarikan pada upacara penguburan orang mati karena dibunuh. Penarinya dari laki-laki yang menakutkan dengan berpakaian compang-camping dari tikar robek, ikat kepala dari rumput padang-padang, senjatanya dibuat dari bambu, perisainya dibuat dari pelepa pinang atau kulit batang pisang. Tarian ini jarang diadakan karena pembunuhan jarang terjadi. Dengan kata-kata penari yang sedih dan menakutkan, mereka maju mundur mengutuki si pembunuh yang kejam.
9.       Tarian Ma’badong
Tarian ini merupakan tarian kedukaan. Penari membuat lingkaran dengan pakaian hitam atau berpakaian bebas. Berbagai jenis langkah dan lagu selalu silih berganti selama penari pa’badong belum lelah. Tarian badong berlangsung semalam suntuk, biasa dimulai dari jam sembilan malam sampai jam tiga menjelang pagi. Orang bebas masuk turut ma’badong baik laki-laki maupun perempuan. Orang-orang yang tidak memakai seni badong akan segera bosan dengan irama yang kedengaran itu-itu saja, tapi orang Toraja selalu tertarik mengikuti kata-kata badong karena mengingatkan manusia yang selalu silih berganti, riwayat hidup dari orang yang meninggal sejak manusia berada dalam kandungan ibu sampai akhir hidupnya. Tidak semua upacara kematian mengadakan Ma’badong, hanya upacara pemakaman yang lamanya tiga malam ke atas.
10.   Tarian Ma’katia
Tarian duka tradisional untuk menyambut tamu pada upacara pemakaman golongan bangsawan. Penari berpakaian seragam dengan topi kepala (sa’pi’).
11.   Tarian Pa’papangan
Tarian penjemputan tamu ditarikan oleh gadis-gadis berpakaian lengkap dan diiringi oleh suling dan Pa’marakka (lagu duka)
12.   Tarian Ma’randing
Tarian ini untuk mengatur dan menjemput pahlawan perang yang akan pergi berperang atau yang baru tiba dari medan perang. Penarinya terdiri dari 2, 3, atau lebih laki-laki yang memakai perisai dan tanduk kuningan dipakai diatas kepala. Pada waktu sekarang tarian ini dipakai pada upacara pemakaman orang bangsawan untuk menyambut rombongan tamu.
13.   Tarian Ma’dondi’
Ma’dondi ini ditarikan pada upacara pemakaman orang mati, kata-kata dondi seperti ma’badong tapi langsung lain iramanya. Anak-anak gembala sering menghibur diri di atas punggung kerbau dengan lagu-laguma’dondi’.
14.   Ma’parando
Kalau orang meninggal dunia dalam umur lanjut dan sudah mempunyai cucu dua lapis maka pada waktu upacara penguburannya, semua cucu perempuan dinaikkan di atas bahu laki-laki dibawa keliling rumah tempat upacara pemakaman diadakan. Gadis-gadis remaja ini berpakaian adat lengkap dan diterangi obor pada malam hari.

Musik Toraja
1.       Passuling
Semua lagu-lagu hiburan duka dapat diikuti dengan suling toraja yang lain dari suling yang dipergunakan anak-anak sekolah. Passuling ini dibawakan oleh laki-laki untuk menyambut rombongan tamu pada upacara kedukaan orang mati atau dapat pula dibunyikan untuk menghibur diri pada waktu malam.
2.       Pa’pelle’/ Pa’barrung
Musik yang menarik minat anak-anak gembala menjelang padi di sawah menguning. Alat musiknya dibuat dari batang padi dan daun pohon enau. Pa’barrung ini merupakan musik khusus untuk pesta rumah adat.
3.       Pa’pompang/Pa’bas
Alatnya ialah suling bambu da bambu besar. Biasanya murid-murid sekolah secara massal membawakan pada pesta perayaan hari nasional atau upacara adat lainnya.
4.       Pa’karombi
Alatnya kecil dengan benang halus diletakkan pada bibir dan tali disentak-sentak dan bunyi hiburan yang halus dapat didengar.
5.       Pa’tulali
Bambu yang kecil dan halus dengan bunyi hiburan yang lumayan jadi hiburan.
6.       Pa’keso’keso’
Gitar Toraja yang terbuat dari kayu dan tempurung kelapa.

ASAL USUL ORANG TORAJA

21.36 Posted In , 3 Comments »

          Walaupun sampai saat ini belum ada ahli yang bisa memastikan asal-usul nenek moyang orang Toraja, tapi banyak pihak memperkirakan bahwa nenek moyang orang Toraja berasal dari Indo-Cina. Denga menggunakan berbagai macam perahu, kira-kira 2.500 – 1.500 Sebelum Masehi, sewaktu sebagian pesisir Pulau Sulawesi terendam lautan, mereka datang ke pulau yang bentuknya seperti huruf K.
          Setelah sampai di Pulau Sulawesi, mereka membangun rumah yang mirip dengan perahu, tempat mereka diam bertahun-tahun di lautan. Bentuk rumah tersebut sampai sekarang masih digunakan sebagai rumah orang Toraja yang senantiasa menghadap ke Utara, dari arah mana nenek moyang mereka datang. Hal ini merupakan pedoman instink, sisa, pikiran yang menghubungkan dengan heredity tempat asalnya. Sebagai contoh, ada satu tiang perahu yang paling dominan sebagai tempat mengikat layar bernama SOMPA, sedangkan tiang rumah adat yang paling dominan tampak di depan rumah juga bernama tulak SOMPA. Ini merupakan persamaan nama dan fungsi antara perahu dan rumah orang Toraja.
          Toraja menurut beberapa antropologis Bangsa Belanda, berasal dari kata TORIAJA yang artinya orang dari pegunungan. Pemberian nama ini logis karena rata-rata orang suku Toraja berdiam di daerah pegunungan. Mereka ini sering turun ke daerah pesisir untuk membeli keperluan, seperti garam, ikan dan lain-lain. Orang pesisir memerlukan pula rempah-rempah dari pedalaman. Transaksi barang antara suku pedalaman dengan suku pesisir inilah yang kiranya melahirkan nama TORAJA kepada semua orang dari pedalaman bukan hanya pada satu suku yang sekarang kita kenal sebagai suku Toraja. Ketika orang Belanda datang ke Indonesia, tidak ketinggalan penyelidik antropologi ikut serta sampai ke daerah pedalaman.
          Dalam sebuah buku karangan Sarjana Bangsa Belanda, dikemukakan pemberian nama TORAJA pada orang dari pegunungan. Kalau demikian semua orang yang hidup di daerah pegunungan adalah orang Toriaja atau orang Toraja hal mana tidaklah demikian halnya. Tetapi karena orang Barat lebih dahulu unggul dari bangsa kita dan karangan merekalah yang memenuhi perpustakaan pendidikan dan karena bangsa kita belum ada yang sempat mengadakan riset, maka produk bangsa Barat kita ikuti saja tanpa ada keberanian mengoreksi. Situasi politik pada waktu itu pula tidak menguntungkan. Kita dalam alam penjajahan seperti itu, siapa yang berani mengoreksi “atasan”.
Nama Toraja dalam bahasa Toraja adalah Toraa atau Toraya yang berbeda dengan Toriaja yang sudah dilazimkan dalam bahasa Indonesia dengan nama TORAJA. Dalam dialek setempat ada beberapa yang menyebut dengan TORAA dan ada pula yang menyebutnya TORAYA. TORAA berasal dari kata TO dan RAA. TO artinya orang dan RAA artinya murah. MARAA artinya harganya murah. Dikaraa artinya didapat dengan murah. “Ayam jantan dikaraa” artinya ayam disayang. TORAA artinya orang pemurah hati dan penyayang. TOMAMASA berasal dari kata tomamase yang juga berarti pengasih. Tomamasa merupakan orang Toraja barat yang berada di daerah Mamasa. Saat ini bergabung dalam provinsi Sulawesi Barat. TORAYA terdiri dari kata TO dan RAYA. TO berarti orang, RAYA artinya besar. TORAYA artinya orang terhormat.
TORAA atau TORAYA sama artinya dengan “HOSPITALITY” dalam bahasa Inggris yang artinya pemurah hati sebagaimana halnya dengan orang-orang yang bekerja di hospital yang mendahulukan pengabdian daripada kepentingan pribadi. Sifat hospitality dari orang-orang Toraja adalah mendahulukan pengorbanan daripada kemewahan, seperti halnya dengan orang yang mengabdikan diri pada pemberian pertolongan untuk pasien di rumah sakit. Sifat hospitality dari masyarakat Toraja inilah yang menjadi salah satu daya tarik wisatawan bangsa Barat yang datang ke daerah Toraja. Seandainya orang Toraja sudah dapat mengetahui huruf yang ditulis bangsa Eropa dari negara Belanda waktu itu dengan memberi nama TORIAJA dengan penjelasan TO artinya orang dan RIAJA dari sebelah gunung, mungkin orang Toraja akan lebih keras menolak kehadiran mereka ke daerah ini.
Secara psikologis, tidak ada seorang Toraja yang senang memakai nama Toriaja yang sama artinya dengan bahasa daerahnya yakni PA’BULU’ atau orang gunung. Suatu kenyataan ialah jauh sebelum orang Barat datang ke Sulawesi, orang Toraja sudah memakai nama TORAA atau TORAYA yang dalam ejaan lama ditulis “TORAJA” dan mereka bangga memakai nama TORAYA serta mempertahankannya dari segala rongrongan luar sepanjang sejarah seperti peristiwa TOPADATINDO dimana perlawanan heroik Toraja bersatu menghancurkan PITU SONGKO’ PALO-PALO atau kira-kira 7 batalion pasukan musuh dari luar daerah Toraja dan mau mengganti ALUKTO DOLO atau keyakinan/kepercayaan orang Toraja dengan kepercayaan yang lain.
Pada umumnya, sumber mata pencaharian orang Toraja ialah bercocok tanam, memelihara binatang ternak seperti ayam, itik, babi, kerbau, ikan mas, dan mengusahakan kerajinan tangan seperti mengukir, menganyam, membuat sepatu, membuat kursi rotan, menenun kain, dan lainnya. Walaupun mata pencaharian orang Toraja adalah bercocok tanam, tapi areal pertaniannya tidak begitu luas dibanding dengan jumlah penduduknya. Dengan demikian, hasil pertanian di daerah ini seperti padi, jagung, ubi-ubian, kacang-kacangan dan kentang serta sayur-sayuran belum bisa membawa Toraja sebagai suatu sentra pertanian di Sulawesi Selatan. Keberadaan masyarakat Toraja yang hidup bertani dan memelihara hewan itu membuat beberapa pemuda-pemudi Toraja yang merasa mampu untuk bersaing orang-orang di kota besar, meninggalkan kampung halamannya. Mereka pergi merantau untuk menghadapi tantangan tersebut. Dan ternyata sebagian besar berhasil sehingga tidak berlebihan jika disebutkan bahwa hampir semua strata pekerjaan di kota-kota besar ada saja orang Toraja yang bercokol di tempat tersebut.

Tingkat Sosial Orang Toraja

01.44 0 Comments »

                Orang Toraja mengenal tiga tingkatan sosial dalam masyarakatnya baik dalam aktivitas pemeliharaan adat, upacara-upacara keagamaan, sikap, maupun tutur bahasa masing-masing mempunyai disiplin sendiri.
                Tingkatan pertama TOKAPUA (TANA’ BULAAN). Tingkatan ini adalah golongan rulling class dalam masyarakat Toraja. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, pemimpin adat, dan pemuka masyarakat. Banyak istilah dalam bahasa Toraja untuk menyebutkan golongan ini. Istilah itu seperti: ANAK PATALO, KAYU KALANDONA TONDOK, TODI BULLE ULUNNA, dan lain sebagainya. Semua istilah tidak lazim dipergunakan dalam bahasa sehari-hari tetapi dipakai dalam acara resmi atau pertemuan formil lainnya. Kata TOKAPUA juga tidak dipakai dalam bahasa sehari-hari, biasa diganti dengan kata TOSUGI’ kalau golongan bangsawan itu termasuk kaya. Bahasa sehari-hari untuk golongan TOKAPUA ini berlainan di tiap tempat di Toraja. Di daerah bagian selatan yang dikenal dengan nama TALLU LEMBANGNA yang mencakup Makale, Sangalla dan Mengkendek, golongan Tokapua disebut PUANG misalnya PUANG MAKALE, PUANG SANGALLA, dan PUANG MENGKENDEK. Di daerah barat Toraja, golongan Tokapua disebut MA’DIKA seperti MA’DIKA ULUSALU. Di daerah bagian Tengah Toraja, golongan Tokapua disebut SIAMBE’ untuk laki-laki dan SINDO’ untuk perempuan, misalnya SIAMBE’ DO BUNTUPUNE, SIAMBE’ lan TANDUNG LA’BO, SINDO’ lan NANGGALA, SINDO’ dio KE’TE’, dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut adalah pusat keluarga bangsawan. Di Daerah bagian Utara, golongan Tokapua disebut PUANG seperti PUANG SA’DAN, PUANG BALUSU. Ada juga bagian daerah yang menyebut golongan bangsawan ini dengan PONG, seperti PONG TIKU di Pangala’, PONG MASANGKA di Bori’. Pada umumnya, golongan bangsawan ini memegang peranan dalam masyarakat Toraja sejak dahulu dan mereka pula yang menguasai tanah persawahan di Tana Toraja 10%.
                Golongan menengah masyarakat Toraja disebut TOMAKAKA (TANA’ BASSI). Golongan ini erat hubungannya dengan golongan TOKAPUA. Mereka adalah golongan bebas, mereka juga memiliki tanah persawahan namun tidak sebanyak yang dimiliki golongan bangsawan. TOMAKAKA yang tidak memiliki harta benda disebut TOMAKAKA KANDIAN. Persentase TOMAKAKA dalam masyarakat sekitar 20%.
                Golongan terbanyak yang menjadi tulang punggung masyarakat Toraja adalah TOBUDA (TANA’ KARURUNG – TANA’ KUA-KUA). Pada umumnya mereka tidak mempunyai tanah persawahan sendiri. Mereka adalah penggarap tanah bangsawan, kaum tani dan pekerja yang ulet, tekun dan hidup sangat sederhana. Mereka adalah golongan termasuk golongan KAUNAN atau golongan budak dahulu. Semua kaum bangsawan mempunyai lusinan budak. Golongan hamba ini adalah yang paling dipercaya atasannya karena nenek mereka telah bersumpah setia turun temurun, akan tetapi atasannya juga mempunyai kewajiban membantu mereka dalam kesulitan hidupnya. Mereka ada sekitar 70% dari masyarakat. Golongan ini tidak boleh kawin dengan kelas yang lebih tinggi seperti TOKAPUA dan TOMAKAKA.